-Satu Pagi di Desa Jeblog-
Terletak di kaki gunung merapi dan merbabu, desa Jeblog bukan hanya titik geografis, tetapi ruang hidup yang dibentuk oleh alam dan kerja. di desa ini, identitas tidak diucapkan dengan lantang, melainkan dijalani dalam sunyi dan dalam langkah kaki menyusuri pematang sawah, dalam tangan-tangan yang menyentuh lumpur, dan dalam pagi-pagi yang dimulai sebelum matahari naik.
Lewat tiga potret ini, kita diajak melihat bahwa identitas desa bukanlah hal yang dipajang, tapi sesuatu yang terus menerus dihidupi.
Gambar 1 : Diantara Para Penjaga Yang Terdiam
Sebuah jalan kecil membelah hamparan sawah, memanjang hingga ke kaki dua gunung yang menjulang di kejauhan. Merapi dan Merbabu berdiri diam seperti penjaga tua yang tak bersuara.Sebuah motor berhenti di sisi jalan, seolah ikut berhenti sejenak untuk menikmati pagi.Dalam diam yang sejuk itu, desa berbicara lewat kehadirannya yang tenang, namun penuh makna.
Gambar 2 : Ritme yang tenang
Meski tanpa warna, sawah ini tetap bercerita. Cahaya menyilang di atas barisan padi muda, dan seorang petani berdiri sendiri bungkuk, bekerja, tanpa suara. di Jeblog,Kerja bukan untuk dipamerkan. Tidak ada pose, tidak ada keramaian hanya gerak yang diulang setiap hari. Ia hadir sebagai bagian dari hidup, seperti angin yang menyapu lembut dedaunan.Tanpa perlu gemerlap, foto ini mengingatkan bahwa identitas tempat ini bukan hanya dari apa yang terlihat, tapi dari apa yang terus diperjuangkan.
Gambar 3 : Keheningan yang bekerja
Pagi belum sepenuhnya lahir ketika tubuh-tubuh itu mulai bergerak. Tanpa suara keras, tanpa aba-aba, mereka berjalan menuju kolam masing-masing tahu apa yang harus dilakukan.Air menyentuh lutut, kemudian pinggang. Dingin mencengkeram, tapi tak seorang pun mundur.Dalam kesunyian yang menggigit, mereka menurunkan jaring perlahan, dengan gerakan yang terukur dan ritmis, seolah air dan tubuh telah lama berdamai.
Ikan-ikan dikumpulkan dalam ember plastik biru, menggelepar sejenak sebelum tenang. Tak ada sorakan kemenangan, hanya kesadaran akan proses yang harus dilanjutkan. Timbangan sederhana digantungkan di rangka besi buatan sendiri, dan satu per satu ember diangkat, ditimbang, lalu disusun kembali. angka-angka tak dicatat di kertas, tapi terukir di kepala mereka. Hasil dari pengalaman panjang dan kerja bersama yang membentuk kepercayaan tanpa suara.
Mobil pickup tua sudah menunggu di pinggir jalan. Dua galon besar penuh air disiapkan sebagai rumah sementara bagi hasil panen. ember-ember diangkat perlahan, dituang, lalu diikat erat untuk perjalanan menuju pasar. semua dilakukan dalam irama yang tenang, tanpa tergesa. Tak ada satu pun teriakan, hanya suara air, embusan napas, dan langkah yang saling mengisi.
Di sini, keheningan bukan kekosongan. Ia adalah bahasa yang dimengerti oleh mereka yang bekerja sejak sebelum fajar. Keheningan ini adalah ruang dimana kerja, kebersamaan, dan penghormatan pada alam berlangsung tanpa tepuk tangan namun dengan penuh rasa.
desa Jeblog mengajarkan kita bahwa identitas tidak selalu harus lantang disuarakan—kadang ia justru tumbuh dalam diam. Dalam gerak yang diulang setiap hari, dalam tubuh yang menyatu dengan tanah dan air, dalam pagi yang tak pernah kosong dari niat dan kerja. sawah dan kolam bukan hanya ladang usaha, tapi cermin dari ketekunan, kesabaran, dan hubungan manusia dengan alam yang dijaga tanpa banyak kata.
Di sini, keindahan bukan sekadar pemandangan, tapi proses. dan kehidupan, bukan sekadar tentang hasil, tapi tentang cara menjalaninya—dengan perlahan, dengan bersama, dan dengan hormat pada yang sudah ada sejak lama. Dari gunung hingga pasar, dari air hingga meja makan, desa Jeblog hidup sebagai sebuah irama: tenang, dalam, dan terus bekerja—meski dalam keheningan.
“Apa yang terlihat sederhana dari luar nya desa, sesungguh nya ada kemewahan yang tidak tertera”
-Swara Tani Karanganom KKN-PPM Universitas Gadjah Mada 2025.